Agile - kenapa harus Story point ?
Untuk melihat apa itu Story Point.
Kenapa harus pakai story point sih ?
Pernah terbersit tidak sih kalau kenapa harus pakai story point ?
Toh ujung-ujungnya yang penting adalah kapan sebuah fitur akan selesai. Itu artinya pertanyaannya tidak akan lepas dari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah fitur. Itu artinya kembali lagi ke perhitungan man-hour.
Artinya kembali lagi berapa banyak resource yang harus dipersiapkan agar sebuah release atau fitur produk bisa di launching. Artinya kembali lagi kepada Waterfall Project Management. Aww..aww.. sebenarnya kita pakai story point ini kemunduran atau kemajuan sih ??
Agility dan Dinamis adalah koentji nya
Istilah story point mungkin hanya akan kita temui ketika membahas sesuatu yang terkait dengan
Agile terkait dengan agility yaitu kelincahan dalam bekerja. Zaman sekarang dimana kebutuhan bisnis bisa berubah demikian cepat, strategi bisnis juga berubah didorong oleh kebutuhan masyarakat dan komunitas. Itupun akan berubah tanpa bisa dikontrol oleh kita.
Kita tidak bisa memaksa orang untuk menyukai produk kita. Selalu ada porsi percobaan dan evaluasi dalam sebuah fitur produk. Dari sebuah evaluasi maka akan kita tentukan tindakan selanjutnya.
Hal tersebut merupakan hal yang natural dalam pembuatan sebuah fitur di zaman sekarang ini. Pandangan ini juga menjadi dasar dalam kita bekerja membuat sebuah produk. Produk yang kita kerjakan bukanlah lagi produk mati yang tidak bisa berubah, atau tidak bisa diperbaiki, atau tidak bisa dikurangi scope nya.
Justru perbaikan, perubahan kecil, atau modifikasi dengan kearifan personal dan kesepakatan tim menjadi pemanis dan penguat dari fitur yang kita buat. Ketika di dalam mengerjakan sesuatu fitur, kita menemukan :
aah bagian ini bisa kita skip sebenarnya karena tidak memberi value yang lebih sebenarnya.
Lalu kita diskusikan dengan Product Owner dan tim. Akhirnya kita mendapatkan fitur yang lebih sederhana, lebih mudah dimengerti oleh pelanggan dan lebih mudah pengerjaannya.
Apakah hal ini bisa dihitung dengan man-hour ?
Tentu saja tidak, berhitung dengan perhitungan man-hour berarti fitur yang didefinisikan dari awal sifatnya adalah saklek, tidak ada kompromi, harus sesuai dengan spesifikasi awal, tidak boleh dikurangi, tidak ada toleransi waktu, perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dan dihindari sebisa mungkin, dsb.
Apa story point bisa menjadi solusinya ?
Bisa jadi.
Story point merupakan cara estimasi yang merupakan hasil proses transisi dari kebutuhan bisnis yang pasti, berubah kepada kebutuhan bisnis yang dinamis.
Story point berusaha mendobrak kakunya cara melakukan estimasi sebuah pekerjaan ditengah dunia yang dinamis.
Story point hanyalah sebuah cara yang diupayakan untuk mengakomodasi fleksibilitas pekerjaan.
Hal yang mungkin dihindari oleh Waterfall Project Management. Perubahan sebisa mungkin dihindari karena akan berakibat besar untuk alokasi sumber daya, biaya, dan waktu.
Jadi kesimpulannya ?
Jadi kalau Anda berada di jenis pekerjaan yang sudah terencana baik dari awal dan berada di lingkungan yang statis dan kurang dinamika, maka estimasi menggunakan story point tidak akan menambah nilai untuk pekerjaan Anda dan target pekerjaan Anda.
Tetapi kalau ternyata pekerjaan Anda mungkin akan menjadi sesuatu yang dinamis dan lingkungan pekerjaan Anda juga mendukung, maka estimasi menggunakan story point lebih cocok digunakan, karena sesuai dengan value yang dibawa oleh estimasi menggunakan story point ini.
Dan perlu diingat story point cuma sebuah cara yang bisa dipakai dan bisa saja tidak dipakai, kalau memang ternyata story point menghambat kelincahan sebuah tim dalam bekerja.