Sambah Manyambah
“Manitahlah Tuan”,
Demikian teriakan seorang penghulu kaum ketika akan dimulai jamuan makan dalam rangka acara resepsi pernikahan keponakan mereka.
Manitah atau Manyambah dalam budaya Minang adalah budaya berdiskusi atau mengemukakan hajat atau niat dengan berpantun menggunakan majas bahasa untuk mendapatkan kata mufakat atau persetujuan melalui musyawarah.
Kata “Sambah” ditunjukkan dengan posisi mengangkat dan menempelkan kedua telapak tangan diatas kepala atau di depan dada, ditujukan kepada orang yang dimintakah berdiskusi dalam acara “Sambah Manyambah”.
Kalau ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia :
- Manyambah= Menyembah.
- Manitah = Bertitah.
Kata ini sebenarnya tidak setinggi artinya dalam bahasa Indonesianya.
Beratnya arti kata ini dimaksudkan sebagai penghormatan yang tinggi terhadap orang yang mempunyai niat dan sudi mengutarakannya dalam bentuk pantun yang bermajas.
Kapan saja dipakai Sambah Manyambah ini ?
Hampir disetiap acara adat Minangkabau yang membutuhkan diskusi antara dua pihak akan memakai metoda sambah manyambah ini. Tujuannya agar mendapatkan kata mufakat terhadap sebuah persoalan bersama.
Contohnya :
- Prosesi menyerahkan mempelai Pria ke pihak mempelai Wanita.
- Prosesi memberi gelar Datuk/ Batagak Gala/ Batagak Pangulu.
Secara pribadi, menurutku “Sambah Manyambah” ini lebih condong kepada mengasah rasa seni, sopan santun, dan urutan berpikir dibandingkan tujuan bermusyawarah untuk mendapatkan mufakat.
Hal ini dapat dimaklumi, karena kata-kata yang digunakan dalam “Sambah Manyambah” ini kebanyakan adalah :
- kata-kata bermajas.
- kata-kata sindiran
- kata-kata yang tidak langsung mengemukakan niat sesungguhnya, dimana orang harus dipaksa keras untuk menginterpretasi arti dari kata-kata tersebut.
Sementara hasil mufakatnya sendiri lebih kepada hanya formalitas saja. Umumnya hasil mufakatnya adalah setuju. Jarang yang hasilnya adalah tidak setuju, kecuali ada ego dari salah satu pelaku “Sambah Manyambah” ini yang ingin mengadu kepintaran berkata-kata di dalam acara “Sambah Manyambah” ini.
Urutan berpikir pun selalu dijaga dalam proses sambah manyambah ini.
Bagaimana alur sambah manyambah ?
Ketika sebuah niat atau pembicaraan disampaikan kepada sejumlah orang, maka pihak penerima harus mengulangi lagi pembicaraan tersebut sebagai konfirmasi (tentunya dengan bahasa yang bermajas juga), baru kemudian memberikan jawaban atau memusyawarahkannya lagi dengan orang lain melalui bahasa bermajas juga.
Bakalan akan lama prosesnya dong ?
Iya. kalaulah banyak pihak yang terlibat dalam pembicaraan itu, maka skema musyawarah lewat “Sambah Manyambah” ini seperti hirarki pohon.
Pembicaraan pertama dimusyawarahkan ke level kedua yang punya lingkup lebih kecil, dst., dan sebaliknya kemudian hasil musyawarah di level terkecil dibawa ke level diatasnya, sampai akhirnya bertemu dengan yang empunya pembicaraan pertama.
Akibatnya, suatu hal sederhana seperti permintaan agar seseorang laki-laki diterima di pihak perempuan dalam suatu pernikahan, bisa membutuhkan banyak persetujuan dan musyawarah di berbagai level.
Level pertama misalnya penghulu pihak lelaki dan penghulu pihak perempuan,
Level ke dua masuk ke level perempuan, antara pihak penghulu kaum perempuan dengan mamak keluarga besar perempuan,
level ke tiga antara mamak keluarga besar perempuan dengan keluarga inti perempuan.
Hasil musyawarah kemudian dibawa lagi tahap demi tahap ke level teratas sampai akhirnya pihak laki-laki mendapatkan jawaban musyawarah bulat dari pihak perempuan.
Dalam satu waktu, cuma ada 2 pihak yang terlibat dalam “Manyambah/Sambah-manyambah” ini, pertama adalah pihak yang mempunyai maksud dan niat tertentu, dan kedua adalah pihak yang diajak bermusyawarah mengenai maksud/niat pihak pertama.
Pihak kedua akan mendengarkan “Sambah” dari pihak pertama, dan setelah pihak pertama selesai mengemukakan niatnya, maka pihak kedua akan mengkonfirmasi dulu apakah sudah tersampaikan semuanya, dan setelah dikonfirmasi maka mulailah pihak kedua memulai “Sambah” nya pula. Ini seperti aturan tidak tertulis mengenai sopan santun dalam bertutur dan aturan dalam berdiskusi. Cukup terstruktur menurutku.
Sebenarnya apa yang dibicarakan dalam Sambah Manyambah ini ?
Sebagai orang yang cuma beberapa kali mengikuti “Sambah Manyambah”, aku bisa mengamati kalau isi dari sambah manyambah sebenarnya sederhana.
- Pembukaan.
- Pengajuan niat.
- Musyawarah
- Persetujuan/mufakat.
Walaupun sederhana, tetapi dikarenakan beberapa aturan tak tertulis seperti yang ditulis diatas, maka proses ini bisa memakan waktu lama, mungkin minimal 2 jam. Hal ini cukup melelahkan dan membosankan bagi yang tidak mengerti isi dari pembicaraan tersebut.
Kalau mau dibandingkan, “Sambah Manyambah” ini berbeda dengan berbalas pantun di adat Betawi, baik dari segi cara maupun tipe pantunnya.
Berbalas pantun di Betawi lebih mirip ke berbalas Pantun daerah Melayu, sementara sambah manyambah di Minangkabau tidak terlalu mengikuti pola pantun Melayu. Well, tiap daerah mempunyai budaya masing masing yang tentunya turut memperkaya khasanah budaya Nusantara kita.
“Manitahlah kini Sutan Rajo Angek”, teriak seorang penghulu kaum lagi.