Egaliterisme Lapau
Cerita
Sebuah percakapan di lapau (warung kopi) di Minangkabau di waktu pagi setelah matahari naik sepenggalahan :
“Jadi Angku Mudo itu mencalonkan diri sebagai anggota DPR dapil kita ya ?"
“Apa yang sudah diperbuat si Angku Mudo itu di daerah kita ini ?
Demikian pertanyaan pak Gaek, bergelar Tan Marajo di lapau kali ini.
Ditujukan
kepada temannya yang berada di ujung kursi satunya lagi.
“Iya, kabarnya begitu Tan Marajo”
“Mungkin karena kakeknya dulu ulama terkenal di daerah sini."
“Jadi dia merasa percaya diri untuk mencalonkan diri disini”
“Kalau melihat sepak terjangnya memang tidak ada yang dilakukan olehnya sebelumnya."
“Ambo pun baru tau dia dari televisi dan koran lokal disini kemarin siang."
Begitu jawab Sutan Rajo Ameh, temannya pak Gaek yang baru saja menghirup kopi yang ada di hadapannya.
“Apalah yang bisa diharapkan dengan orang seperti itu ?"
“Indak babaun tunjuak den doh (tidak percaya saya) dengan orang seperti itu”
Pak Gaek melanjutkan kata-katanya agak tendensius.
“Ondeh Mandeh, kenapa benci sekali Tan Marajo dengan Angku Mudo ?"
“Ada hutang piutang atau dendam kesumat kah Tan Marajo dengan Angku Mudo ?"
Sutan Rajo Ameh menyentil dengan sedikit senyum di bibirnya, menyindir halus. Beberapa orang di lapau ini juga mulai tersenyum.
“Enggak lah, Angku Mudo itu kan masih sesuku sama Ambo. “
“Ibunya juga orang terpandang dan kaya di suku kami”
“Tapi Ambo melihat anaknya yang dari Jakarta itu belum bisa beradaptasi dengan budaya kita “.
Pak Gaek kembali membalas ucapan Sutan Rajo Ameh.
“Ooh, sesuku, kenapa tidak mendukung saja si Angku Mudo itu Tan Marajo “
Sutan Rajo Ameh melempar pertanyaan yang berat bagi pak Gaek.
“Ambo walaupun sesuku tapi kalau tabiatnya tidak sesuai dengan agama dan adat kita, malu Ambo untuk mendukungnya”.
Pak Gaek Tan Marajo kembali menjawab.
“Setuju Tan Marajo, yang kita dukung memang yang harus benar-benar boneh (berkualitas)”.
Salah seorang di lapau ikut-ikutan berpendapat. Tan Marajo dan Sutan Rajo Ameh tidak mengenalnya.
“Tapi, belum tentu yang mencalonkan diri itu jelek semua “
Lagi-lagi seorang bapak tua di lapau itu nimbrung di percakapan itu.
Berpakaian parlente dengan rambut klimis disisir.
Berbeda sekali dengan Tan Marajo yang masih menggunakan sarung dan peci hitam butut kesayangannya. Tan Marajo dan Sutan Rajo Ameh juga tidak mengenalnya.
“Iya betul, tapi secara logika, kita bisa melihat kualitas seseorang itu dari pembawaan dan tingkah lakunya” ,
Tan Marajo membantu menjelaskan.
Percakapan itu terus berlanjut. Ada yang ikutan nimbrung, ada yang hanya diam dari tadi tapi sambil mendengarkan. Ada yang ikut-ikutan bertanya, ataupun membela Tan Marajo.
Suasana Lapau
Permainan kata-kata sindiran dikeluarkan di sesi tersebut. Bertanya dengan kata-kata bersayap dan bermajas terkadang keluar di percakapan seperti ini.
Kata-kata yang kalau diucapkan terus terang mungkin akan menyinggung seseorang. Akan tetapi dengan menggunakan kata-kata bersayap dan bermajas, membuat orang perlu berpikir dahulu untuk menterjemahkannya dan butuh waktu dan kepastian sebelum tersinggung dan marah.
Biasanya tidak akan ada yang marah di dalam diskusi/debat itu. Hanya sindiran-sindiran geli yang bagi orang yang biasa pergi ke lapau hanyalah sebuah pemuas keinginan berdiskusi dengan temannya.
Bagi yang tidak tahan dengan diskusi itu, cukup diam, mendengarkan.
Atau bagi yang tersinggung, biasanya tidak akan datang ke diskusi itu lagi selama 2 atau 3 hari untuk kembali lagi bergabung di lapau kembali.
Jangan harap ada dominasi di lapau. Kalau ada dominasi seseorang atau kelompok di lapau, maka sepi lah lapau.
Jangan harap orang akan mengiya-iyakan saja semua informasi yang dibawa oleh orang yang kelihatannya berpendidikan atau orang berpunya yang datang ke lapau.
Di lapau, tidak ada orang yang peduli dengan penampilan. Asalkan punya cara berdiskusi yang baik, punya kemampuan menampilkan kata-kata bersayap, dan punya pertanyaan yang menggelitik, maka dia layak untuk diperhitungkan sebagai teman diskusi.
Egalitarisme
Di lapau, seorang sarjana bisa saja didebat oleh seorang petani yang tiap harinya kerjanya ke sawah. Bisa saja logikanya si petani lebih mengena dan kuat pengaruhnya bagi orang-orang yang mendengarnya di lapau.
Di lapau, bahkan orang tidak akan bisa melakukan stalking/kepo terhadap seseorang yang sedang berbicara di lapau kecuali bertanya langsung kepadanya.
Kenapa ?
Karena di lapau orang kebanyakan tidak akan memanggil nama, tetapi gelar. Gelar ini seperti nama alias yang dipakai oleh orang Minangkabau ketika berkomunikasi di masyarakat. Sutan Raja Batuah, Tan Marajo, Sutan Rangkayo Sati, Sidi Pamenan, dll. Tetapi tentunya gelar ini hanya berlaku untuk yang sudah menikah saja.
Tidak ada gelar ST, Phd yang dipanggil ketika orang berdiskusi di lapau. Siapapun dia, boleh berdiskusi di lapau, asalkan punya cara diskusi yang baik, pintar mengemukakan pendapat dan membuat suasana diskusi menjadi sehat dan tidak dominan.
Dengan panggilan gelar, maka nama asli dan title yang melekat di diri seseorang seperti ditanggalkan dan tidak dianggap penting bagi orang di lapau, kecuali kita menyatakan sendiri title dan kemampuan kita.
Tapi lagi-lagi biasanya itu tidak membuat orang terkesima. Malah mungkin menjadi tidak simpatik. Cukup lah dengan status yang sama kita saling berdiskusi dan bertukar pikiran.
Tan Marajo, saya ke sawah dulu, matahari sudah mulai tinggi. Besok kita sambung lagi.
Demikian Sutan Rajo Ameh mengakhiri percakapan hari itu di lapau.
Baiklah Rajo Ameh, saya juga mau ke pasar, Sudah mulai ramai ini pasar, saatnya mencari nafkah
Tan Marajo, dikenal juga dengan pak Gaek ikutan keluar dari lapau menjalani hari ini mencari nafkah di Pasar. Sutan Rajo Ameh juga sudah duluan menuju sawahnya.
Beberapa orang masih di lapau, bercerita tentang hal-hal lain, dan satu persatu mulai keluar seiring dengan matahari yang sudah mulai meninggi.